Jumat, 15 April 2011

KORUPSI INDONESIA

oleh Cahaya Viena

System “ Satu Atap “ dalam penerimaan Birokrasi Pemerintah
Dan Hubungannya dengan Pemberantasan Budaya Korupsi di Indonesia

Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi tingkat korupsi di Indonesia saat ini benar-benar memprihatinkan, banyak sekali aparat-aparat pemerintah yang terbukti mengantongi uang rakyat bermlyar-milyar bahkan bertriliyun rupah. Dalam prakteknya, korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, oleh karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang nyata. Disamping itu sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti.
 Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standard kebenaran dan sebagai kekuasaaan mutlak. Sebagai akibatnya, kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup
yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka ini juga akan menduduki status sosial yang tinggi dimata masyarakat.
Kemudian jka kta bicara masalah Birokras di Indonesia, yang ada dalam benak kita adalah lembaga yang sering melakukan korups di Indonesia. Birokrasi kita terkenal berbelt-belit dan ribet dalam melaksanakan tugasnya, dan pada kenyataannya Birokrasi kita akan cepat kerja jika kita memberi uang tambahan dibelakang. Inilah yang menjadi awal mula maraknya korupsi diranah Birokrasi kita.
Korupsi di Indonesia
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Boleh dikatakan korupsi telah menjadi akar dari semua permasalahan (the root of all evils) yang bergolak di Indonesia, terutama faktor yang berasal dari dalam negeri. Salah satu penyebab marak terjadinya tindak pidana korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.[1] Melihat fenomena yang berkembang di Indonesia, birokrasi dan korupsi bisa diibaratkan seperti sekeping uang logam, keduanya tidak terpisahkan, dimana ada birokrasi disitu ada korupsi. Ini tentu mengkhawatirkan, korupsi telah memiliki struktur dan menjadi kultur dalam proses birokrasi. Korupsi sudah membentuk jaringan sistemik yang sangat kuat dalam lingkaran birokrasi Indonesia. Untuk itu perlu kiranya, mengkaji birokrasi guna mencari formulasi dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Menurut Weber, tingkah laku manusia diarahkan kepada seperangkat aturan, sedangkan aturan tersebut merupakan usaha untuk mengatur tingkah laku yang berbeda, disinilah hakikat dari suatu organisasi, yaitu adanya aturan-aturan yang berbeda untuk mengarahkan pada suatu tingkah laku yang organisasional. Weber menyebut aturan-aturan tersebut sebagai tatanan administrasi. Di dalamnya kemudian ada staf administrasi (pejabat), pada satu sisi staf administrasi tersebut memiliki kewajiban untuk menaati aturan yang ada, namun di sisi lain dia juga harus melakukan pengawasan, apakah anggota yang lain juga mentaatinya. 
Akibat-akibat korupsi yang terjadi d Indonesia antara lain sebagai berikut :
1)      Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
2)      Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3)      Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4)      Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendisendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Birokrasi di Indonesia
Birokrasi sangat identik dengan pejabat dan jabatan, dalam sudut pandang sosiologi, model weberian khususnya, pejabat merupakan tipe peranan sosial yang penting. Bahwa pejabat adalah seseorang yang memiliki tugas-tugas khusus dan fasilitas yang dimilikinya dalam melaksanakan jabatannya merupakan pemberian dari orang lain. Perbedaan antara pejabat dan kelas pekerja adalah terdapat pada otoritasnya, dalam melaksanakan tugas. Seorang pejabat memiliki otoritas jabatan, sedangkan pekerja hanya melaksanakan perintah majikan.[2] Bagi Max Weber, birokrasi merupakan bentuk organisasi yang paling rasional dalam masyarakat modern. Ciri-ciri birokrasi menurut Weber adalah:[3]
a)      Sistem kewenangan yang hirarki, artinya hirarki jabatan dibagi secara jelas dan tegas; 
b)      Pembagian kerja yang sistematis, artinya para pejabat hanya hanya menjalankan tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatannya; 
c)      Spesifikasi tugas yang jelas, adanya pembagian fungsi jabatan; 
d)     Kode etik disiplin dan prosedur yang jelas dan sistematis; 
e)      Kontrol operasi melalui sistem aturan yang berlaku secara konsisten;
f)       Aplikasi kaidah-kaidah umum ke hal-hal spesifik dengan konsisten; 
g)      Seleksi pegawai yang didasarkan pada kualifikasi standar yang objektif; 
h)      Sistem promosi berdasarkan senioritas atau jasa, atau keduanya.
i)        Pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut.
j)        Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Perkembangannya, weber menolak menggunakan sebutan birokrasi, apabila diperuntukkan bagi pejabat yang dipilih atau seseorang yang diseleksi oleh sekumpulan orang. Dalam konteks sekarang, yang tidak termasuk dalam lingkaran birokrasi menurut Weber adalah mereka para anggota DPR dan komisi-komisi. Sebab, ciri utama dari pejabat birokrasi adalah mereka yang memperoleh jabatannya karena diangkat oleh orang lain. Weber mengatakan: “tidak ada pelaksanaan otoritas yang benar-benar birokratis, yakni semata-mata melalui pejabat yang dibayar dan diangkat secara kontraktual.” 
Birokrasi yang rasional merupakan unsur pokok dalam proses rasionalisasi dunia modern, dan kedudukannya adalah lebih penting dari pada proses sosial, sebab birokrasi rasional sangatlah berperan dalam memberikan arahan untuk memimpin suatu organiasi sosial –administrasi public.[4] Teori inilah yang selanjutnya bisa menjadikan birokrasi sebagai kerangkeng besi dalam masayarakat modern, sebab ada kecenderungan yang melekat dalam birokrasi. Kecenderungan tersebut kemudian melahirkan adanya akumulasi kekuasaan yang terus-menerus, yang mengakibatkan terciptanya jaringan korupsi sistemik dan terstruktur dalam jalur biorokrasi. Oleh karenanya kemudian Weber memberikan batasan-batasan dalam sistem birokrasi. Batasan-batasan tersebut adalah:[5]
Ø  kolegalitas, dalam artian bahwa kolegalitas harus dikurangi;
Ø  Adanya pemisahan kekuasaan;
Ø  Administrasi amatir, bahwa para pegawai adminsitrasi harus digaji secara layak, agar tidak tergantung kepada orang-orang yang memiliki sumber keuangan yang kuat;
Ø  Adanya demokrasi langsung;
Ø  adanya representasi atau perwakilan dalam birokrasi.
Birokrasi sekarang sudah menjadi sarang terjadinya tindak pidana korupsi. Amunisi macam apakah yang kemudian bisa digunakan untuk memberantasnya.
System “ Satu Atap “ dalam proses penerimaan Birokrasi
Yang dimaksud dengan system satu atap disini adalah bahwa Pemerintah dalam hal n Presiden secara langsung membentuk satu badan yang khusus menangani masalah penermaan Birokrasi di Indonesia. Dalam hal ni badan yang dibentuk n nantinya ditempatkan disatu tempat untuk menangani penerimaan Pegawai Birokrasi atau calon-calon birokrat diseluruh Indonesia. Ada beberapa alasan kenapa perlu membentuk badan ini :
Ø  untuk menghindari praktk korupsi terselubung dalam proses penermaan birokrat, dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam pelaksanaan penerimaan calon birokrat selalu ada uang suap agar dapat lolos seleksi. Hal ini nantinya akan dapat menimbulkan system balik modal bagi mereka yang masuk dengan jalan menyogok ini, inilah awal dari terlaksananya korupsi di Indonesia.
Ø  Untuk menghindari opnum-opnum pemerintah yang memanfaatkan situasi ini dengan meraup keuntungan sebesar-besarnya dari para calon birokrat.
Kenapa tanggung jawab langsung ada pada Presiden adalah agar lebh efektif dan cepat tanggap, maksudnya jika ada masalah nantinya tidak tertunda-tunda dan langsung cepat tanggap. Badan ini harus lepas dari intervensi politik dan bahkan presiden pun hanya bertanggung jawab tidak boleh mengganggu kinerja mereka kecuali memang ada yang tertangkap basah melakukan KKN. Jka terdapat satu orang yang tertangkap melakukan tindak korupsi maka Presiden langsunglah yang berhak untuk merestrukturisasi badan ini. Kenapa harus Presiden? Hal ni karena kondisi tingkat korupsi di Indonesia yang cukup parah dan mengharuskan Presiden sebagai kepala Negara wajib untuk menanganinya langsung.
Dan juga yang tak kalah penting adalah status kepegawaian dari para pekerja dibadan ini tidak boleh berstatus PNS tetap hanya berstatus kontrak tapi dengan gaji yang lebih hal ini untuk menghindari terjadnya korupsi dan status kepegawaian ini agar para pekerjanya tidak seenaknya sendiri dan dapat langsung dipecat jika memang terbukti bersalah.
Hal ini karena pada dasarnya Birokrasi Indonesia lebih identik dengan sebutan mental uang. Karena untuk menjadi pegawai birokrasi saja, beberapa orang rela mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar. Sehingga dalam setiap ujian penyaringan CPNS, ada saja terdengar kabar terjadinya pemberian uang sogok dimana-mana demi kelulusan seseorang. Hal inilah yang membangkitkan semangat koruptif secara turun temurun demi mengembalikan sejumlah uang yang dikeluarkan pada saat berjuang menjadi seorang pegawai negeri sipil.
Di samping itu, karakter berlomba lomba menjadi PNS juga telah menjadi “trend” dalam dunia kawula muda yang telah lulus dari perguruan tinggi. Alasan mendasarnya adalah lagi-lagi masalah uang. Yaitu terdapatnya jaminan penghasilan seumur hidup apabila dibandingkan dengan ketidak pastian pekerjaan swasta yang gampang melakukan PHK karena ketidak stabilan perekonomian. Di sisi lain, niat baik pemerintah menaikkan gaji dan tunjangan PNS khususnya di lingkungan.
System satu atap ini memang tidak gampang untuk dijalankan akan tetapi jka memang pemerintah memiliki niat untuk memunahkan budaya korupsi di Indonesia semua harus dilaksanakan dengan tegas dan teratur.



[1] Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. V. 

[2] Martin Albrow, Op.Cit., (hal.34-40)
[3] Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun III 2002, Korupsi; Sengketa Antara Negara dan Modal, (Yogyakarta: Insist Press), hal. 51. diambil dari Denny B.C. Hariandja, 1999. Lihat juga Martin Albrow, Birokrasi (terj), (Yogyakarta: Tiara Wacana 2005), hal.44-45.
[4] Ibid. hal. 41-42.
[5] Ibid. hal. 48-49

0 komentar:

Posting Komentar