Senin, 04 April 2011

NASIONALISME DAN NEOLIBERALISME DI INDONESIA

oleh : cahaya viena
NASIONALISME
Realita yang menunjukkan bahwa banyak Warga Indonesia yang lebih memilih produk luar negri disbanding dengan produk dalam negri, banyaknya orang yang lebih memilih berlibur keluar negri disbanding untuk menjelajahi Nusantara, dan semakin sedikit orang yang mengenal budaya asli dari Indonesia. Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak sekali Mahasiswa ilmu pemerintahan yang tidak hafal isi dari Pancasila, bahkan tidak hafal isi dari sumpah pemuda, bahkan tidak hanya Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, tetapi juga sebagian besar anak muda-anak muda di Indonesia yang notabenenya adalah penerus bangsa. Kalau Pancasila dan Isi dari ikrar Sumpah pemuda saja tidak hafal bagaimana bisa Negara ini berkembang sesuai dengan teori “ideology dan falsafah “ bangsa Indonesia. Kemudian akan ada pertanyaan
dimana rasa nasionalisnme kita? “ bahkan muncul indikasi bahwa kita tidak mengetahui makna dari Nasionalisme itu sendiri, inilah realita yang saat ini terjadi dan bahkan merebak didalam tubuh masyarakat sekarang. Mengaku Nasionalisme tapi tidak tahu makna dari Nasionalisme. Inilah yang akan kita bahas lebih deail lagi dalam makalah ini.
Realita lain yang saat ini sedang merebak penuh di dalam lingkar kehidupan Negara ini adalah tentang Neoliberalisme. Neoliberalisme yang berkembang dari kesuksesan system liberalism saat ini tengah menjadi trend baru dibeberapa Negara termasuk di Indonesia. Ketika pada realita yang ada saat ini Negara tidak lagi mempedulikan tujuan dari Negara itu sendiri yang telah tertuang dalam Undang-undang dasar tentang mewujudkan kesejahteraan bangsa, sekarang ini yang disejahterakan bukan rakyat secara keseluruhan akan tetapi rakyat yang berada diatas saja. Mungkin benar bahwa ini adalah dampak dari globalisasi, karena bagaimanapun juga banyak yang menyimpulkan bahwa Neoliberalisme adalah anak kandung dari globalisasi. Ketika pemerintah memutuskan untuk melakukan banyak privatisasi, banyaknya SDA yang diambil alih oleh pihak asing, dan ekonomi bawah yang carut marut, banyak orang mati karena kelaparan, banyak bayi yang meninggal karena busung lapar dan masih banyak lagi hal-hal yang seharusnya menjadi kewajiban Negara untuk menyediakannya.
Nasionalisme dan Neoliberalisme inilah hal yang saat ini sedang bercokol di Indonesia, krisis rasa nasionalisme pada diri Warga Negara Indonesia dan juga system Neoliberalisme yang semakin merajalela dalam lingkup kehidupan politik di Indonesia. 
Nasionalisme dapat berarti dalam banyak hal, akan tetapi di Negara Indonesia ini sendiri Nasionalisme seringkali diartikan sebagai rasa kebangsaan. Rasa cinta terhadap Bangsa dan Negara, terhadap tanah air dan terhadap tanah kelahiran. Dulu pada jaman Pra kemerdekaan mungkin kita dapat melihat semangat nasionalis yang tinggi dari para pemuda-pemuda yang tergerak untuk merebut kemerdekaan, ketika para pejuang dengan penuh semangat untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat bangsa, akan tetapi jika kita lihat sekarang ini banyak anak muda yang merasa malu jika disebut sebagai orang Indonesia. Bahkan ketika ditanyai masalah ideology bangsa mereka tidak bisa menyebutkan isi-isi dari Pancasila, inikah penerus bangsa yang mulai diidam-idamkan oleh para pejuang kita. Ketika mereka ( para penerus bangsa ) lebih dapat menghafal lagu-lagu luar negri dibanding lagu Indonesia Raya, ketika mereka lebih bangga berbahasa Inggris disbanding dengan bahasa Indonesia, ketika bahasa jawa atau bahasa daerah lainnya juga sudah mulai punah, dari mana kita dapat menarik kata Nasionalisme dari kejadian-kejadian tersebut.
NEOLIBERALISME
Dalam sejarahnya Liberalisme adalah sekumpulan gagasan dan sikap, bukan kerangkateori yang koheren[1]. Lalu bagaimana sejarahnya sebuah Neoliberalisme itu muncul, Neo berarti baru atau modern dan liberal berarti bebas, isme adalah ajaran. Kita dapat menyimpulkan bahwa Neoliberalisme adalah paham liberalis yang modern atau baru. Berikut adalah rentetan sejarah perkembangan Neoliberalisme di Indonesia, Neoliberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat. Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia. Penanaman Modal Asing (PMA) dan utang luar negeri mulai meningkat.
Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari Sosialisme ke arah semi Kapitalisme.
Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an,sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri, maupun sektor perdagangan.
Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan liberalisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi liberal Indonesia saat itu. Masa pembangunan ekonomi Orba pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia. Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF Indonesia benar-benar telah menuju liberalisasi ekonomi. Hal itu, paling tidak, dapat diukur dari beberapa indikator utama yaitu:
1.                           Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2.                            Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3.                           Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.
4.                            Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.

Dampak ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:
1.      Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) --baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta. Sebagai contoh di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).
Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu itu, yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia, Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan Indonesia. Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH. Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal menuai getahnya.


[1] Michael A. Riff, Kamus Ideologi Politik Modern, hal 177, Yogyakarta : pustaka Pelajar,1995 

0 komentar:

Posting Komentar