Selasa, 08 Februari 2011

Mari'ah

 oleh : cahaya viena
Aku terus menyusuri gang-gang sempit yang kotor dan becek karena hujan tadi sore. Begitu sepi gang ini sampai-sampai aku dapat terperanjat ketika mendengar suara tikus got melewatiku. Rumahku masih dua belokan gang lagi akan tetapi peluh sudah membasahi seluruh bajuku petang ini, kudorong gerobak tempatku menjajakan makanan dengan penuh tenaga berharap cepat sampai didepan rumah. Rumah-rumah kumuh didaerah pinggiran kota besar sangat mengenaskan keadaannya, bahkan kerbaupun tak akan mau menempatinya. Tapi apalah artinya kami yang hanya orang-orang terpinggirkan dalam era globalisasi yang selalu dijadikan kiblat oleh
orang-orang jaman sekarang, aku sering melihat di TV berita tentang Globalisasi itu, meskipun aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya. Satu kata yang mau tidak mau harus kami terima sebagai orang-orang yang terpiggirkan ucapkan setiap hari “nrimo “.
Andai aku tidak pernah datang ke Jakarta yang penuh dengan mimpi-mimpi buruk ini. Andai emak tidak meninggal mungkin aku akan tetap hidup nyaman dan layak dikampung. Andai bapak tidak bejat...ah, bapak. Apa mungkin aku masih bisa memanggilmu bapak setelah tindakan bejatmu itu....
Aku menghentikan langkahku sejenak memandang kerlip lampu kota dikejauhan. Betapa megahnya lampu-lampu itu menyala, menyorotkan keangkuhan dari gelimang harta, menawarkan sejuta harapan dari kerlip lampu yang bersinar. Kutatap lagi sebuah gedung yang menjulang tinggi, besar dan kokoh seakan-akan mengatakan “ bersujudlah padaku dunia“. Aku hanya tersenyum miris membayangkan jika gedung itu benar-benar bisa berkata seperti itu. Aku melanjutkan perjalananku pulang sambil terus memikirkan kenapa harus ada ketidakadilan dalam Negara yang selalu menggembar-gemborkan Demokrasi. Aku sendiri hanya tamatan SD, masih bisa membaca tapi tak pernah tahu persis apa itu artinya Demokrasi. Kata orang-orang disekitarku Negara ini menganut sistem Demokrasi yang semuanya itu berpusat pada rakyat. Tapi aku hanya dapat merasakan adanya Demokrasi seperti yang orang-orang katakan itu hanya saat pemilu saja. Aku sebagai wong cilik akan sangat senang jika diberi barang-barang yang dapat menunjang hidupku seperti uang, sembako, makanan, secara Cuma-Cuma, dan itu dapat aku terima saat-saat pemilu saja, dan itulah yang slama ini aku ketahui sebagai Demokrasi.

Aku rindu pada kampung halaman yang menawarkan sejuta kedamaian dan keramahannya. Akurindu pada orang-orang desaku yang begitu baik memberikanku uang untuk lari bersama adik-adikku kesini. Andai mereka tahu kalau Jakarta ternyata lebih menyiksa jika dibandingkan hidup bersama bapakku.
Kudorong lagi gerobakku untuk belok kearah pemukiman penduduk. Didalam benakku tergambar dengan jelas wajah polos ke-3 adik-adikku yang menungguku pulang dengan harapan akan membawa rejeki bagi mereka. Nasib sebagai seorang tulang punggung keluarga, tapi aku tetap memiliki harapan bagi ke-3 adik-adikku kedepannya.
Dari jauh aku sudah dapat melihat rumah kecilku teronggok bagai tumpukan sampah, karna memang kami tinggal didaerah tumpukan sampah. Hampir ribuan orang yang tinggal seperti aku didaerah ini, masih banyak lagi orang-orang diluar sana yang jauh tidak beruntung dibandingkan dengan aku, karena aku masih punya tempat bernaung dan juga masih dapat makan dengan cukup layak dua kali sehari. Kubayangkan wajah adik-adikku, mamad, andre,  dan yuli. Sedih aku memikirkan jika aku setiap hari meninggalkan mereka untuk berdagang, dari subuh sampai hampir petang. Aku ingin kembali ke kampung halaman nantinya jika sudah cukup uang, karena ibu kota memang tak layak untuk orang-orang seperti aku, dan adik-adikku.
Aku yakin aku dapat memantapkan hati untuk kembali ke kampung, aku harus mampu dan aku harus bisa menghadapinya, karena memang sudah bertahun-tahun aku tinggal dilingkungan yang sangat kejam. Dimana semua berpusat pada uang dan uang. Tak ada uang maka aku akan teraniaya disini. Adik-adikku akan berkeliaran dijalanan. Aku tak mau hal itu terjadi, biar saja aku yang merasakan, aku yang menjalani semuanya.
Kenapa kami harus hidup serba kekurangan bukanlah kesalahan kami, akan tetapi nasib sepertinya membuang kami karena kemiskinan yang kami sandang sejak lahir. Kami miskin, tapi kami bukanlah pemalas. Banyak orang kaya yang beranggapan bahwa miskin itu karena malas bekerja, akan tetapi justru merekalah yang tak pernah tahu rasanya berjuang untuk dapat makan tiap harinya.
Orang-orang seperti aku memang selalu dianggap sebagai sampah masnyarakat, karena kami tinggal didaerah pembuangan sampah, kami yang sering dikejar-kejar para seragam hijau karena dianggap merusak pemandangan. Kadang terasa aneh apa salah kami hingga mereka tega menghancurkan pekerjaan kami, sesuap nasi kami, padahal mereka berseragam yang pastinya mereka adalah aparatur Negara ini, tapi bukankah harusnya mereka mengayomi bukannya menendangi!!! Dulu ketika aku sekolah di SD guruku selalu bilang bahwa kita harus menghormati sesama manusia agar kita juga dihormati nantinya, kalau mereka para seragam hijau berjalan tidak pernah menghormati kami untuk apa kami juga menghormati mereka?
Aku memang orang kecil, bodoh, tak pernah sekolah tinggi, tapi setidaknya aku masih mengerti arti sebuah Negara, hubungan antara Negara dengan rakyat dan hak-hak yang dimiliki oleh kami sebagai Warga Negara asli. Kami tidak pernah minta banyak dari petingi Negri ini, kami hanya ingin diberi tempat untuk bernafas sedikit saja untuk hidup, kami masih punya tenaga untuk bekerja sendiri hingga kami tak perlu mengemis dijalanan.
Akhirnya aku berdiri didepan rumahku, sepi. Kudorong lagi gerobakku dengan susah payah untuk dapat masuk kedalam teras rumahku yang hanya tertutupi papan tripleks. “ assalamualaikum....” aku mengucapkan salam dengan penuh semangat, dari dalam aku mendengar suara langkah kaki adik-adikku. “ waalaikum salam mbak.....” sahut mereka berbarengan. Pintu dari papan triplek pun terbuka, kulihat adik-adikku rebutan untuk menciumi tanganku. “ dagangannya habis mbak...? “ tanya Mamad, adikku paling besar, umurnya menginjak 7tahun tahun ini. “ alhamdulillah mad, hari ini Allah memberi kita rejeki cukup...” aku mengelus-elus rambutnya, kulihat matanya yang berbinar cerah memandangku. “ asiiiikkk.... berarti kita bisa nabung lagi mbak hari ini...” ucap Mamad lagi. Aku tahu dia begitu semangat untuk dapat mengumpulkan biaya sekolahnya. Aku hanya mengangguk untuk menenangkan hati mereka. “ mbak Mar, Yuli udah masakin makan malam, kita semua nungguin mbak untuk makan bareng. Kita makan yuk mbak...” Yuli adikku yang paling kecil, umurnya baru 5 tahun, mereka bertiga menggandengku dengan raut muka bahagia yang menjadisuntikan semangat untuk berjuang kembali.
Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membawa mereka pergi dari tempat ini sesegera mungkin. Saat uang tabunganku cukup untuk hidup dan membangun rumah sendiri dikampung. Membuka toko kelontog dan menyekolahkan mereka sampai tamat dan menjadi orang. Tidak seperti aku yang selalu direndahkan dan dilecehkan orang.
Namaku Mari’ah, perempuan asli Yogyakarta yang terdampar di ibu kota, profesiku adalah penjual gorengan dikaki lima. Aku harus menanggung hidup tiga orang adik laki-laki dan perempuanku yang masih kecil. Aku berpikir lagi bagaimana aku dapat memberikan kehidupan yang layak bagi mereka jika uang hasil jualanku hanya cukup untuk makan sehari-hari. Kadang jika aku berjualan didepan sekolah-sekolah, aku membayangkan betapa bahagianya jika ke-tiga adikku dapat sekolah yang layak. Dulu aku pernah mendengar bahwa adanya sekolah gratis sampai SMP, tapi kenyataannya semuanya sama saja. Hanya janji-janji yang selalu diterima oleh orang-orang seperti aku, akan tetapi sekarang aku sudah tidak mempan lagi dibuai janji-janji seperti itu. Biarlah aku akan berusaha sendiri nantinya, demi ke-tiga adik-adikku.
Aku menatap sosok perempuan ayu didalam cermin, dengan rambut panjang terurai membungkus wajah oval yang lembut, tinggi badan sandart wanita-wanita indonesia lainnya. aku merasa jijik dengan wanita ayu didepanku ini. Setiap kali aku memandangi wajahku maka setiap itu pula aku mengingat bapak... bapak yang dulu pernah memperkosaku hanya gara-gara emak tidak lagi mampu memuaskan nafsunya, bapak yang dulu sempat aku puja dan sanjung tapi ternyata hanya tua bangka yang penuh nafsu birahi. Mataku terpejam lagi mengingatnya. Aku tak mau memanggil-manggil laki-laki itu lagi, tak akan pernah. Karena aku telah menancapkan sebuah pisau didadanya malam itu...

0 komentar:

Posting Komentar