Selasa, 08 Februari 2011

Rindu di Yogyakarta

oleh : cahaya viena
Sunyi. Gelap. Darah. Sakit....
Oh Tuhan ini sakit sekali.....
Gelap. Aku tak bisa mendengar dan melihat apapun sekarang, riuh orang berdatanganpun aku tak dengar lagi.
******
 Aku melihatnya disana, aku tak mungkin salah melihat orang. Itu Rara. Oh Tuhan itu benar-benar Rara, dia masih hidup. tapi pemakaman itu pemkaman siapa?

Pikiranku melayang lagi pada saat itu, aku sendiri yang menghadiri pemakaman Rara, orang yang telah menemaniku hampir 4 tahun, dia meninggal karena gagal jantung. Jantungnya berhenti berdetak 2 tahun 5 bulan 27 hari yang lalu. Aku memang tidak melihat mayat Rara saat itu sehabis dibersihkan, karena peti matinya dipaku sampai rapat ketika aku mulai berani menerima kenyataannya, akan tetapi aku berada satu mobil dengan jenazah saat menuju tempat peristirahatan terakhir Rara.
 Lalu siapa orang yang berdiri disana, semuanya sama, baik senyumnya, matanya, hidungnya, bibirnya semuanya yang ada pada Raraku ada pada dirinya. Mungkinkah ada orang yang memiliki kemiripan identik seperti ini. Aku berjalan pelan menghampirinya, aku ingin memastikannya sendiri. Sampai sekarang aku masih belum bisa menerima kepergian Rara sampai-sampai aku tak pernah lagi mencari penggantinya setelah kepergian Rara. Dua tahun tak cukup bagiku untuk menghapus kenangan-kenangan bersamanya. Hatiku ingin memastikan bahwa aku tidak berhalusinasi saat ini.
“ pinten mbah ? “ aku mendengar suaranya dengan jelas. Hatiku ragu sesaat setelah mendengar suara itu, perempuan ini fasih berbahasa jawa, Rara tak pernah bisa berbicara bahasa jawa seperti itu. Bahkan Rara sangat jarang berlibur ke Jawa, hanya sesekali jika aku mengajaknya menengok Eyangku disini.
“ 20 ewu nduk...”
“sedasa nggih mbah...” dia menawar-nawar harga kalung yang ada ditangannya itu, sangat mirip, semuanya. Aku bingung sendiri berdiri dibelakangnya seperti ini. meninggalkan kang Parto yang menemaniku jalan-jalan di Prambanan.
“ Rara...” aku memanggilnya lirih. Tapi dia tak menoleh sedikitpun. Tanganku bergerak hendak menggapai pundaknya.
Aku tersentak dari lamunanku dan seketika dia melesat pergi meninggalkanku. “ Rara....” aku panggil dia lagi dan sekarang dia memang menoleh. Dia melihat kearahku, ada raut kaget dimukanya. Rara.
“ maaf, nama saya bukan Rara, anda salah orang “ jawabnya tegas lalu tersenyum sambil berjalan menjauh dari penglihatanku.
*****
“ ambulans. Panggil ambulans sekarang juga...” seseorang berteriak, tetapi aku tak bisa fokus lagi terhadap hal itu. Ini terlalu sakit...Tuhan cabut nyawaku sekarang juga....
Putih...
Semua serba putih...
Apakah aku telah berada disurgamu Tuhan...
*****
Pikiranku masih terbayang-bayang akan wajah perempuan itu, perempuan yang mirip dengan Raraku yang telah tiada. Siapa perempuan itu? Aku tak tahu kenapa takdir membawaku untuk bertemu dengannya sekarang, di Prambanan, sebuah candi yang dibuat karena cinta tak terbalaskan Bandung Bondowoso oleh Roro Jonggrang. Candi yang awalnya dibuat atas dasar cinta tapi rasa cinta itu berubah menjadi amarah tak tertahankan dari Bandung Bondowoso karena merasa dikhianati oleh pujaan hatinya.
Bingung, rasa penasaran membuatku ingin mencari kebenarannya. Sedangkan rasionalitasku mengatakan bahwa aku harus bisa menerima kenyataan atas kematian Rara. Oh Tuhan...apa yang harus aku lakukan????
Aku segera mengemudikan sepeda motorku kearah Malioboro. Melihat keramaian orang-orang berlalu lalang. Malam minggu di Malioboro sangat ramai, gerombolan-gerombolan anak muda saling bercanda disana-sini, banyak komunitas yang mencoba menunjukkan kebolehan mereka. Seperti yang sedang aku pandangi saat ini, ada pementasan teater dengan tema ‘ ketika rakyat kecil kelaparan “. Aku terhanyut sesaat kedalam pementasan tersebut ketika tak disengaja mataku melihat seseorang, dengan menenteng kamera dia menjeperet setiap seluk beluk kota ini. Rara. Tak pernah aku tahu bahwa Rara menyukai fotografi, Rara lebih senang menjadi obyek daripada subyek. Logikaku langsung berpikir dan aku langsung menghampiri dia. Perempuan yang sangat mirip dengan Rara.
“ permisi...” ucapku didepannya.
“ iya...” dia memandangku heran karena aku tahu dia masih mengingat perjumpaan di Prambanan siang tadi.
“ boleh kita bicara sebentar...”
“ kenapa ya...”
“ ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan pada anda...”
“ mengenai apa ya, perasaan kita belum pernah kenal dan saya masih ingat pertemuan kita tadi siang di Prambanan...”dia mulai mengerutkan kening, aku tahu dia mulai bingung dengan kedatanganku tiba-tiba.
“ iya saya tahu kita belum pernah kenal akan tetapi itu yang ingin saya tanyakan pada anda, karena wajah anda sangat mirip dengan seseorang...”
“ oke...kita duduk disana...” dia menunjuk tempat duduk yang ada didepan Istana Presiden di Yogyakarta.
“kamu kenal dengan orang yang ada difoto ini...” aku mengubah pembicaraan yang terasa sangat formal tadi agar tidak terkesan kaku. Aku mulai menunjukkan foto-foto Rara yang aku simpan didompetku. Aku bisa merasakan dia terperanjat saat melihat foto itu. Aku yakin bahawa ia memiliki hubungan dengan Rara, karena tidak mungkin ada dua orang yang memiliki kemiripan fisik secara sempurna kecuali....kembar identik.
“ Randa Puspita Bilqis Priyatmoko....” ucapnya pelan. DEG!!itu nama lengkapnya Rara. Aku semakin yakin bahwa ia memiliki hubungan dengan Rara. Aku melihat dia menitikkan air mata. Aku tak tahu kenapa.
“ apa hubungan Rara sama kamu? “ tanyaku lagi
“Rindu Puspita Bilqis Priyatmoko itu namaku, dia kakakku, kami kembar identik sejak lahir....”
“ kembar? Tapi Rara tak pernah cerita kalau dia punya saudara kembar setahuku dia adalah anak tunggal dari tante dan om Moko...” aku semakin bingung dengan semuanya. Empat tahun bersama dengan Rara tak pernah sedikitpun ia menyebut-nyebut punya saudara kembar.
“ papa....papa pasti tak menceritakannya sama Rara. Iya papa...sifat papa yang terlalu lunak sama oma pasti mau melakukan apa saja yang oma katakan...”
 “ apa yang sebenarnya terjadi...” desakku, aku semakin tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi
“ apa keyakinanmu...” aku tersentak kaget karena ia tiba-tiba menanyakan ini padaku,hal yang sangat sensitif untukku.
“Kristen...”
“pantas saja oma merestui hubunganmu dengan kakakku...oma tidak mau ada yang mengotori kesucian agamanya. Mamaku muslim, begitu juga aku...” kulihat Rindu menitikkan air matanya lagi saat mengenang semuanya. Aku bingung harus melakukan apa untuk menenangkannya.
“ papa menikahi mama diam-diam karena sebenarnya kedua belah pihak keluarga tidak ada yang setuju. Menurut mereka keyakinan adalah milik pribadi sedangkan tidak ada hubungan antara keyakinan dengan cinta...dan mereka meyakini cinta mereka direstui oleh Tuhan mereka masing-masing. Sampai akhirnya kami berdua lahir...”
“ Pada usia 2 bulan kami harus dipisah, tanpa pernah kenal satu samalain kami dipisahkan oleh perbedaan tadi. Oma bunuh diri karena merasa dikhianati oleh anak kesayangannya. Mama menyuruh papa untuk menemui oma agar cinta dan kebahagiaan mereka tidak ternoda oleh kematian seseorang. Mama memberikan Randa kakakku sama papa dan aku sendiri dirawat oleh mama di Jawa, di Pekalongan aku tinggal sama mama berdua...”
Kami berdua terhanyut dalam suasana malam di Malioboro. Begitu indah hiasan lampu-lampu disini, menggambarkan keagungan Yogyakarta yang tak akan pernah pudar. Kami seperti berdua saja ditengah keramaian malam minggu di Malioboro. Aku seperti masuk kedalam kompleksitas masalah berdasarkan keyakinan. Pikiranku melayang lagi pada perjumpaan pertamaku dengan oma. “ apa agamamu...” kata-kata itu yang pertama diajukan oleh oma. Saat itu aku tersentak kaget dengan pertanyaan yang langsug seperti itu, akan tetapi aku tidak memiliki pikiran apapun saat itu. Asal hubunganku dengan Rara dapat berjalan mulus, hanya itu yang aku pikirkan. Sebuah pikiran anak SMA mungkin.
“ apa kelainan Jantung yang dialami Rara itu turunan dari mama kalian...”
“iya, mama sudah tahu bahwa kakakku menuruni penyakit yang ia derita. Tapi mama tak pernah mengatakannya sama papa. Mama berpikir bahwa Rara akan dirawat dengan baik oleh papa, dan aku akan bisa merawat mama jika nanti aku besar...” Kedewasaan yang tak pernah dimiliki oleh Rara, aku bisa melihatnya dimata adiknya. Sungguh ironis, bagaimana jika posisi mereka berbalik, akankah Rara dapat sedewasa ini...
“ aku sangat kaget saat melihatmu di Prambanan tadi siang, aku hampir gila memikirkannya. Aku kira kamu itu Rara, Raraku yang manis. “
“ aku tahu, saat papa pertama melihatku ia sampai menitikkan airmata melihat kemiripan kami, begitu juga dengan tante Alena, istri papa setelah mama...” aku tersentak saat mendengar nama om dan tante Moko disebut. Berarti tante alena juga telah mengetahuinya....
“ mereka menemuiku setelah kematian Rara, setahun setelah Rara meninggal. Mereka memintaku untuk tinggal bersama mereka, papa bahkan memohon-mohon agar aku bisa tinggal dengan mereka....” angin berhembus sangat pelan saat itu, membelai wajah kami berdua yang terhanyut oleh pikiran kami masing-masing. Gemerisik dedaunan membuat alunan tersendiri dalam otak kami.
“ bagaimana dengan mama kamu...”
“ mama sudah lama meninggal, tepat setahun sebelum Rara meninggal...” Rindu menitikkan air mata lagi. Aku tak bisa membayangkan betapa keras hidup yang telah ia alami, berjuang hidup bersama ibunya, terbuang dari saudara sendiri. Kedewasaan inilah yang ia dapatkan dari perjalanan hidupnya. Rindu. Nama yang sangat bagus. Aku yakin nama itu memiliki banyak arti dalam hidupnya.
“ aku tak akan tinggal dengan papa...” ucapnya tiba-tiba
“heh...kenapa? daripada kamu hidup sendirian....”
“ aku tak mau hidup terpenjara dalam kerangkeng agama. Aku meneruskan usaha mama sekarang, mama mengelola bisnis batik di Pekalongan. Sekarang sudah besar dan memiliki cabang di Yogya sama di solo. Setelah kuliahku disini selesai aku akan nerusin usaha mama dan buka galeri untuk foto-fotoku...” aku melihat senyumnya mengembang lagi. Ah, sungguh dewasa perempuan ini. andai ini Rara, tapi aku tak ingin berandai-andai sekarang. Yang lalu biarlah menjadi kenangan...
Apa yang dialami Rindu lebih berat dari apa yang aku alami. Dia kehilangan semua dalam sekali tepuk dan ia tetap bisa berdiri dan tersenyum menantang angin yang berhembus kearahnya.
Kulihat Rindu berjalan kedepan sambil melambaikan tangan padaku dan tersenyum riang untukku. Dia menunjuk kearah kantor polisi yang ada diseberang jalan malioboro dan menenteng kamera yang ada ditangannya. Tetapi aku langsung berlari kearah Rindu secepat mungkin, Rindu bingung melihat ekspresiku ada raut bingung bercampur takut dimukanya. Aku tak berkata apa-apa padanya, aku hanya berlari kearahnya dan segera mungkin mendorong tubuhnya kesamping.
Brrrrruuuuukkkkkkk..... bis jalur yang sedang ngebut menabrakku, bis yang harusnya menabrak Rindu. Tapi aku bahagia telah menyelamatkan Rindu, aku tersenyum pada Rindu yang berteriak histeris kearahku.
“ aaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrgggggggggghhhhhhhhhhhhhhhhhh.................”
*****
“ periksa denyut nadinya...ada pendarahan dikepalanya...” suara seorang dokter berusaha membuatku bernafas. Aku merasa tubuhku melayang diudara dan aku sangat terkejut ketika melihat Rara datang. Ya, ini Rara bukan Rindu. Raraku yang manis. Dia begitu manis dengan gaun putih yang ia kenakan. Aku menyambut uluran tangannya dan ia membawaku terbang. Aku merasa jiwaku terbebas dan aku bisa menumpahkan semua rasa rindu yang aku rasakan selama ini. untuk bersama Rara selamanya...
“ dokter... gimana,,,” tanya Rindu. Dokter hanya menggeleng pelan kearahnya. Dan isak tangis Rindu semakin menjadi. Oh Rindu, aku sangat bersyukur bisa bertemu Rindu di Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar